Di tengah gugusan pulau Maluku yang biru dan hijau, di mana kenangan konflik masih membekas di hati banyak orang, seorang pria muda bernama Eklin Amtor de Fretes memilih cara sederhana namun mendalam untuk menyembuhkan luka: berdongeng.
Penerima SATU Indonesia Awards 2020 kategori Pendidikan ini lahir di Masohi, Maluku Tengah. Ia tumbuh di masa ketika Maluku dilanda konflik sosial 1999–2002, menyaksikan sendiri bagaimana prasangka dan luka sosial mengubah kehidupan masyarakat. Namun alih-alih menjauh, Eklin memilih kembali untuk menenun perdamaian dari panggung-panggung kecil di kampungnya.
Dari Trauma Menjadi Cerita Damai
Berawal dari pelatihan Living Values Education pada 2016 di Bogor, Eklin menemukan cara menyentuh hati anak-anak tanpa menggurui — melalui dongeng kreatif. Ia percaya bahwa setiap anak berhak tumbuh tanpa rasa takut, dan setiap cerita bisa menjadi jembatan antara perbedaan.
Dengan boneka tangan bernama Dodi, ia berkeliling dari sekolah ke sekolah, dari masjid hingga gereja, bahkan ke desa-desa bekas konflik di Pulau Seram seperti Saleman dan Horale. Di sana, anak-anak dari dua komunitas yang dulu terpisah kini duduk bersama, tertawa, dan belajar arti damai.
Kegiatan Youth Interfaith Peace Camp, inisiatif lintas iman yang digagas Eklin sejak 2017 di Maluku. (Foto: GNFI)
Rumah Dongeng Damai: Sekolah Nilai dan Kreativitas
Pada 2019, Eklin mendirikan Rumah Dongeng Damai — ruang belajar yang menggabungkan kelas bahasa (Inggris dan Jerman), kelas seni, serta pelatihan nilai-nilai toleransi. Di sinilah anak-anak Maluku belajar bukan hanya membaca dan menulis, tapi juga mendengarkan dan memahami.
“Dongeng bukan sekadar hiburan, tapi cara mengubah sejarah kelam menjadi cahaya baru,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Kini, program ini juga menjadi tempat pelatihan bagi guru, relawan, dan pendongeng muda
...