Di utara Pulau Bali, di balik garis pantai Tejakula yang tenang, terletak sebuah desa yang tumbuh dari kearifan dan kolaborasi. Desa Les, Kabupaten Buleleng, kini dikenal luas sebagai salah satu contoh nyata keberhasilan pengembangan masyarakat berbasis lingkungan dan budaya.
Alih-alih berorientasi pada pembangunan masif, Desa Les menempuh jalur berbeda — mengandalkan pemberdayaan masyarakat dan prinsip keberlanjutan. Pendekatan ini menuntun desa kecil tersebut menuju pengakuan nasional sebagai salah satu Desa Wisata Terbaik dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024.
Bangkit Bersama Alam
Perjalanan Desa Les menuju keberhasilan tidak terjadi dalam semalam.
Pada awalnya, laut di sekitar desa mengalami kerusakan berat akibat eksploitasi dan praktik yang tidak ramah lingkungan. Terumbu karang rusak, populasi ikan menurun, dan ekonomi nelayan pun merosot.
Namun, masyarakat tidak menyerah. Melalui inisiatif lokal dan dukungan para pihak, warga mulai melakukan transplantasi terumbu karang, khususnya jenis Acropora suharsonoi, spesies endemik Bali. Upaya tersebut secara perlahan memulihkan ekosistem laut yang rusak.
Kini, perairan Desa Les telah berubah menjadi taman bawah laut yang indah.
Kegiatan snorkeling dan diving menjadi daya tarik utama bagi wisatawan, sementara konservasi laut menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat. Desa Les pun dikenal sebagai destinasi ekowisata bahari yang bertanggung jawab, di mana pariwisata berjalan seiring dengan pelestarian alam.
Menjaga Warisan Budaya Bali Mula
Selain potensi alamnya, Desa Les juga menyimpan warisan budaya yang unik.
Sebagai salah satu desa tua Bali Mula, masyarakat Les mempertahankan tradisi adat yang berbeda dari kebanyakan desa di Bali. Mereka tidak melaksanakan upacara Ngaben (pembakaran jenazah), melainkan melakukan pemakaman alami yang mencerminkan penghormatan terhadap bumi sebagai sumber kehidupan.
Setelah pemakaman, prosesi penyucia
...
Harap
Masuk to untuk membaca tulisan lengkapnya.