Langit di atas Dusun Kemuning, Patuk, Gunung Kidul, selalu biru pucat. Tanah kapur yang kering membuat pohon-pohon jati tampak kurus. Di depan gubuknya, Mbah Kasinem sering menghela napas panjang. Anaknya, Galuh, selalu bercerita tentang kota, tentang pekerjaan, tentang hidup yang lebih mudah. Mbah Kasinem hanya tersenyum getir, tahu betul betapa sulitnya hidup di desa yang gersang ini.
Namun, suatu hari, sebuah harapan datang. Sebuah program baru bernama Kampung Berseri Astra (KBA) masuk ke dusun mereka. Galuh, dengan semangat anak muda, menjadi salah satu motor penggerak. Mbah Kasinem awalnya ragu. "Apa bedanya dengan bantuan-bantuan sebelumnya?" gumamnya. Namun, ia terdiam saat melihat kegigihan Galuh dan warga lainnya.
Telaga Kemuning, yang selama ini hanya menjadi sumber air terbatas, mulai ditata. Warga bahu-membahu membersihkan dan menata tepiannya. Lahan di sekitarnya yang dulu kosong kini ditanami berbagai sayuran organik oleh Komunitas Wanita Tani (KWT). Mbah Kasinem, dengan tangannya yang keriput, ikut mengurus ladang kecilnya.
"Nek, ini Gaplek Geprek," ujar Galuh suatu sore, menyodorkan sebungkus keripik singkong. "Kita bikin sendiri. Nanti kita jual, ada kemasannya bagus," katanya sambil tersenyum. Mbah Kasinem mencicipinya. Rasanya gurih, dan di matanya, keripik itu bukan sekadar makanan, melainkan lambang harapan. Ia melihat wajah Galuh yang berseri-seri, sama seperti wajah warga lainnya.
Yang paling menyentuh hati Mbah Kasinem adalah ketika ia melihat Telaga Kemuning benar-benar hidup. Wisatawan mulai berdatangan. Mereka berfoto, duduk di pinggir telaga yang kini bersih, dan membeli produk-produk buatan warga. Ia sering melihat anak-anak kecil belajar di fasilitas pendidikan informal yang didirikan KBA, tawa mereka terdengar riang di antara rimbunnya pohon yang kini mulai tumbuh subur.
"Mbah, dulu kita hanya bisa berharap hujan. Sekarang kita bisa membuat rezeki sendiri," kata Galuh suatu malam, saat mere
...
Harap
Masuk to untuk membaca tulisan lengkapnya.